Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 13 Maret 2019

Fotografi Ponsel


Seperti sering dikatakan oleh fotografer senior KOMPAS Arbain Rambey bahwa foto dalam dunia jurnalistik hanyalah pelengkap atau penguat teks. Foto hanya pendukung atas teks berita yang dibuat. Kalau demikian adanya tidak pentingkah keberadaan sebuah foto?
Eit nanti dulu! Tak usah buru-buru menjawab.
Coba ingat-ingat apakah ketika kita melihat surat kabar atau majalah yang membuat kita ingin membaca berita yang ada di surat kabar dan majalah itu karena teks beritanya atau karena fotonya? Apakah karena judul berita yang membuat kita tertarik untuk melanjutkan membaca atau karena kita melihat foto indah atau mencengangkan dan setelah itu memutuskan membaca teksnya secara penuh?
Pengalaman saya sendiri ketika melihat surat kabar maka kedua kemungkinan itu bisa terjadi. Saya pernah tertarik membaca berita atau artikel karena judulnya membuat penasaran. Tapi saya juga sering ingin membaca lebih jauh sebuah berita (minimal keterangan foto) bila melihat ada foto yang membuat saya kaget (bisa karena kaget, aneh, indah, dan seterusnya).
Maka, secara pribadi saya agak berat menerima “fatwa” Arbain di atas. Tapi mungkin yang dimaksud Arbain sesungguhnya adalah bahwa sebuah surat kabar masih bisa menerbitkan koran meski isinya hanya teks berita tanpa foto. Namun sebuah surat kabar koran atau majalah tidak bisa menerbitkan koran bila hanya berisi foto tanpa teks berita. Bila dilihat dari sudut ini, maka foto sesungguhnya memang sekadar pelengkap berita.

Era ponsel
Perkembangan teknologi komunikasi membuat ponsel (handphone) tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi—dalam arti untuk berbicara dan menulis pesan. Kamera pun kemudian “ditanam” di dalam ponsel sehingga menjadi fasilitas tambahan ponsel.
Seiring berjalannya waktu kualitas kamera ponsel semakin baik dan tak kalah bagus dengan foto hasil jepretan kamera DSLR. Adagium “man behind the gun” berlaku di sini. Wartawan saat ini pun tak perlu repot-repot membawa kamera saku (kalau masih ada) atau DSLR yang beratnya bikin dada tegak. Cukup dengan kameran ponsel wartawan atau fotografer sudah bisa membuat foto yang menarik dan layak cetak/ muat.
Tak terbantahkan bahwa sedikit banyak ponsel telah menggeser kamera konvensional. Kualitas foto yang dihasilkan kamera ponsel sama baiknya dengan beberapa kamera DSLR. Ke depan mungkin saja kamera ponsel bisa sebaik foto-foto yang dihasilkan kamera DSLR mahal. Bahkan Jason van Genderen sang pendobrak dunia perfilman (filmbreaker) bilang, “Masa kini ke depan adalah masa ponsel, tidak terbantahkan,” kata Jason sebagaimana dikutip KOMPAS. Jason percaya masa depan ada di ponsel. Jason sendiri pernah membuat film dengan hanya menggunakan ponsel dan karyanya banyak mendapatkan penghargaan internasional.
Karena itu tak perlulah tidak percaya diri hanya karena membuat foto dengan menggunakan kamera ponsel. Sebab meski hanya menggunakan kamera ponsel bila teknik pengambilan gambarnya bagus, maka hasilnya juga akan bagus.

Belajar dari McCurry
Dalam dunia fotografi ada satu istilah yang pasti akan sering terdengar atau diucapkan: komposisi. Salah satu arti komposisi sebagaimana tercantum pada KBBI V adalah “integrasi warna, garis, dan bidang untuk mencapai kesatuan yang harmonis”. Maka, harmonis bisa disebut dengan perpaduan aneka elemen dalam sebuah foto sehingga menghasilkan foto yang enak dipandang mata.
Fotografer legendaris Steve McCurry (sebagaimana ditulis belfot.com) membagikan tips bagaimana membuat komposisi foto agar foto terlihat lebih bagus. Tips ini bisa diterapkan saat memotret dengan menggunakan kamera ponsel.
Sebenarnya banyak tip yang dia bagikan. Namun dalam pertemuan kali ini saya hanya akan menyampaikan lima tip bagaimana membuat koposisi foto agar lebih enak dilihat.
Pertama, rule of thirds (pertiga bagian). Caranya tempatkan bagian yang paling menarik dari sebuah objek yang ingin difoto dalam foto (point of interest) di pertemuan garis-garis yang membagi foto menjadi tiga bagian. Teori rule of thirds mengatakan foto yang bagian paling menariknya diletakkan di salah satu bagian rule of thirds maka foto tersebut akan terlihat bagus secara keseluruhan.
Kedua, framing (pembingkaian). Permanislah foto dengan menggunakan bingkai (frame). Bingkai bisa dengan menggunakan benda-benda yang memang disengaja disiapkan untuk dijadikan bingkai namun ada juga yang menggunakan frame alami yang ditemui di lokasi saat memotret. Frame-frame alami itu misalkan jendela, pintu, ranting, pepohonan, lubang di dinding, pelampung, ban, atau elemen lain untuk memberi frame alami pada objek foto.
Ketiga, penuhi bingkai (frame). Arinya penuhilah foto dengan objek foto yang ditangkap secara penuh. Biasanya untuk mengabadikan ekspresi wajah dari yang difoto. Bila sebelumnya pada langkah nomor dua di atas kita berusaha menggunakan apa yang ada di sekitar untuk dijadikan sebagau frame, maka kali ini jangan gunakan frame sama sekali. Ini adalah cara menonjolkan objek foto atau mengeksplorasi ekspresi wajah. Mendekatlah pada objek foto penuhi frame dengan ojek tersebut. Sebab sebuah foto bisa saja buruk karena terlalu jauh.
Keempat, corak dan pola (pattern). Pola biasanya berkaitan dengan pengulangan bentuk, garis, warna, dan sebagainya. Memotret pola dan corak yang berulang selalu terlihat indah di mata. Misalnya deretan rumah, tentara yang berbaris, bahkan dedaunan. Namun, yang paling indah adalah saat bisa menemukan pola dan corak yang diinterupsi.
Kelima, gunakan garis. Gunakan elemen-elemen alami sebagai garis penuntun untuk mengarahkan mata pemirsa foto. Laut di cakrawala adalah garis. Lekuk gunung adalah garis. Rel kereta, marka jalan, benda yang bersusun-susun, dan sebagainya.

Keterangan foto
Yang terakhir namun juga penting adalah membuat keterangan foto (caption). Bagi yang tidak terbiasa membuat keterangan foto mungkin kegiatan ini akan sedikit menyulitkan. Namun ada prinsip yang bisa menuntun agar membuat keterangan foto bisa menjadi lebih mudah. Gunakan rumus 5W+1H sebagaimana rumus membuat berita dan keterangan foto akan mudah dilakukan. Foto harus menjelaskan peristiwa di dalam foto itu apa, di mana terjadinya, kapan kejadiannya, siapa yang terlibat (bukan hanya dalam artian negatif), kenapa peristiwa itu terjadi dan bagaimana terjadinya. (*)

Kota Serang, 2/3/2019

1 Disampaikan dalam Kelas Fotografi yang digelar Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Provinsi Banten pada 3 Maret 2019 di Pesantren Tahfidz Salsabila di Kampung Jagarayu Pabuaran, Kelurahan Dalung, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten. 


 

Baca Selengkapnya......

Selasa, 12 Maret 2019

Berburu Buku Bersama Para Serigala


Untuk pertama kali saya datang ke acara pesta buku murah Big Bad Wolf Book Sale Jakarta di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD Tangerang. Kebetulan pada Rabu itu saya sedang libur kerja. Padahal, bagi yang lain hari itu adalah hari kerja.
Salah satu keuntungan menjadi wartawan di daerah, libur berlaku pada hari sebelum hari H. Maksudnya bila hari libur (tanggal merah) jatuh pada hari Kamis, maka wartawan libur pada hari Rabu. Sementara pada Kamis malah masuk kerja.
Sebelum datang ke acara saya searching di Google tentang apa itu Big Bad Wolf. Ternyata itu adalah semacam pesta buku dengan harga yang sangat murah. Bagi saya yang suka membaca, acara ini tidak boleh dilewatkan. Apalagi ada 5,5 juta buku baru di pemaran tersebut dan harganya murah!
Masih menurut berita yang saya baca di internet, penggagas Big Bad Wolf yang merupakan warga negara Malaysia itu awalnya ia sengaja menggelar buku murah agar semua orang bisa membeli buku. Sebab dulu karena ekonomi keluarga yang sulit ia tidak mampu membeli buku-buku bagus sebagaimana teman-temannya yang lain. Terkait penamaan bad wolf karena konon itu diambil dari salah satu tokoh di salah satu buku yang dibacanya. Karena itu, mereka yang datang di acara Big Bad Wolf Book Sale sebagai wolfies atau para serigala. Serigala yang hadir tentu tidak memburu mangsa makanan untuk makan melainkan memburu buku.
Maka, pergilah saya, istri, anak pertama saya Ayya (yang masih TK), dan adik ipar ke ICE BSD. Kami sengaja datang pagi agar tidak kehabisan buku saat berburu nanti dan berharap suasana masih sepi. Big Bad Wolf sebenarnya buka 24 jam sehingga bilapun kita datang pukul 01.00 dini hari masih bisa memburu dan membeli buku. Tapi karena membawa anak kecil dan istri yang tengah hamil, saya tentu harus kompromi dan tidak mengikuti hawa nafsu.
Kami berangkat sekitar pukul 07.30. Sampai ke lokasi sekitar pukul 09.00. Menggunakan jalan tol dari pintu tol Serang Timur menuju BSD. Sampai di lokasi suasana masih sepi. Beberapa stan yang ada di depan koridor menuju lokasi pameran buku hanya satu dua yang sudah buka.
Sampai di depan pintu masuk, adik ipar saya Imam, tiba-tiba berbalik. Ia menaruk air mineral di dekat toilet dekat pintu masuk. “Enggak boleh bawa air minum ke dalem,” katanya kepada saya yang bertanya.
Benar saja dua satpam dengan sigap memeriksa tas yang dibawa pengunjung. Beberapa pengunjung yang membawa air mineral diminta membuang botol air tersebut ke tempat sampah. Tidak dijelaskan mengapa tidak boleh membawa air minum. Ah, mungkin khawatir akan membasahi buku-buku, kata saya dalam hati.
Masuk ke ruangan pameran buku saya seperti Aladin yang sedang melihat harta karun di dalam gua. Perasaaan senang meledak-ledak. Ingin rasakanya saya mengangkut semua buku-buku itu. Tapi tentu itu tidak mungkin. Saya hanya membawa beberapa ratus ribu. Paling hanya akan mendapatkan beberapa buku.
Anak saya Ayya tak kalah girang. Malah ia langsung menyambar salah satu buku tebal berbahasa Inggris dari salah satu tumpukan buku-buku anak-anak dan bilang ingin membelinya. Kami bilang kita harus keliling dulu melihat-lihat semua buku. Bila ada yang disukai baru kemudian boleh membelinya.
Baru sampai di salah satu tumpukan buku Ayya kembali memilih buku. Ia merengek minta dibelikan buku. Padahal, ia tidak paham benar itu buku berbahasa Inggris. Saya sebagai orang tua saja belum tentu mengerti hehe. Ayya selalu tertaik pada buku-buku bergambar putri atau tokoh-tokoh kartun yang sering ditontonnya.
“Kakak mau yang ini, Ayah,” katanya merengek. "Kakak mau yang ini, Bunda."
Sampai di tumpukan buku lain, Ayya kembali memilih sebuah buku. Sampai tiga buku yang ia pilih ingin dibeli. Melihat saya tidak leluasa memilih, istri kemudian bilang kalau dia akan bersama Ayya. Sementara saya ia persilakan memilih buku-buku yang ingin saya beli.
“Ya, Allah terima kasih memberiku istri yang pengertian,” kataku dalam hati.
Mulailah saya berburu buku. Tumpukan yang paling saya incar adalah buku fiksi. Saya berharap akan menemukan buku-buku murah seharga Rp5.000 atau Rp10.000 seperti buku kumpulan cerpen Kompas. Tapi ternyata buku-buku yang ada di luar ekspekstasi. Memang ada buku-buku fiksi bagus namun kebanyakan buku untuk remaja dengan nama-nama penulis yang belum akrab di telinga. Sampai akhirnya saya menemukan 6 buku yang paling mewakili minat saya. Sebagian besar buku fiksi (beruntung saya dapat buku kumpulan cerpen WS Renda. Mungkin tak banyak juga yang tahu kalau Rendra menulis cerpen). Untuk keenam buku itu saya hanyamengeluarkan uang sekitar Rp100.000. Kalau beli di toko dengan uang Rp100.000 mungkin saya hanya akan mendapatkan dua buku.
Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 14.00. Saya sampai lupa waktu. Saya  lupa belum salat dzuhur dan sampai lupa makan siang. Kalau sudah berada di tengah-tengah buku saya seperti perempuan di tengah barang-barang penuh diskon menggiurkan. 
Akhirnya kami menuju tempat pembayaran. Saat itu saya baru sadar kalau jumlah buku yang dibeli Ayya lebih banyak dan lebih mahal dibandingkan dengan jumlah buku yang saya pilih. Dalam hati saya bersyukur anak seusia dia sudah menyukai buku. Saya yakin mereka yang gemar membaca buku akan dekat dengan cita-cita yang dimiliki. 
Setelah itu kami melakukan salat yang lokasinya disediakan panitia di bagian paling ujung tempat BBW.
Berburu buku bersama para serigala, sebutan untuk penggunjung BBW, bagi saya sangat menyenangkan. Apalagi buku-buku yang digelar memiliki harga yang cukup miring namun kualitasnya oke. Sayang ada buku-buku dari beberapa penerbit yang tidak ada sehingga buku yang semula ingin saya dapatkan tidak bisa saya temukan. Mudah-mudahan ke depan makin banyak penerbit yang bisa terlibat dalam BBW sehingga akan semakin banyak yang bisa dibeli.

Baca Selengkapnya......

Minggu, 14 Juni 2015

Yang Terlupakan

Karim mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Dalam pikirannya berkelebat kekhawatiran dengan apa yang dilakukannya saat ini, menemui adiknya yang telah lama dilupakan. Adiknya telah mempermalukan keluarga serta mencoreng nama baik yang selama ini telah terukir indah di antara orang-orang kampung. Meski demikian, tetap saja ia bulatkan tekadnya.
Terminal Pakupatan telah tertinggal jauh di belakang. Saat melewati daerah Ciceri, Karim kembali teringat ucapan bapakya tujuh bulan lalu.
Sampai kapan pun saya tidak akan menengok anak sialan itu! bapak begitu berang setelah menerima kabar dari Karim tentang Romli, adiknya yang baru divonis penjara. Kalian juga jangan sampai menjenguknya. Bapak mengarahkan telunjuknya ke arah ibu dan Karim.
Sejak Romli tertangkap polisi, kontan bapaknya tak pernah mau lagi peduli. Tak sudi lagi mendengar namanya. Anak yang hanya bisa buat malu keluarga!
Ibu hanya bisa menangis mendengar keputusan bapak. Karim memeluk ibu, coba menenangkannya.
Jika ada yang menengoknya, maka tak ada bedanya dengan anak durhaka itu!
Karim mengerti perasaan bapaknya. Seseorang yang sangat disegani di kampung tentu malu memunyai anak, seperti Romli. Ada-ada saja yang dilakukannya untuk membuat onar. Berkelahi, mencuri, memalak, mabuk-mabukan bahkan kasus terakhirnya meniduri anak orang. Dan kasus inilah yang menariknya ke bui.
***
Karim sudah sampai di gerbang penjara. Bangunan itu terlihat sangat kokoh. Gaya bangunannya masih seperti saat didirikan pertama kali pada zaman Belanda. Dindingnya begitu kokoh, sekeras kehidupan di dalamnya. Menancapkan paku ke temboknya untuk menggantungkan baju pun rasanya mustahil dilakukan saking kerasnya.
Pintu besi adalah yang pertama menyambut Karim. Ada sebuah lubang di pintu besi itu. Karim mendorong lubang yang tertutup dengan besi tadi. Dari bolongan tersebut terlihat seorang petugas penjaga penjara. Ia mengatakan kepada penjaga bahwa ia ingin masuk.
Beberapa saat kemudian suara gembok ditarik terdengar keras. Pintu terbuka perlahan. Tampak seorang petugas penjara berseragam cokelat berdiri di belakang gerbang. Tak ada senyum di wajahnya. Padahal Karim sudah menyambutnya dengan senyum.
Ia menunjukkan agar Karim menuju ke sebuah ruangan dekat gebang. Di ruangan yang cukup luas tersebut ada sebuah meja dan kursi. Ada seorang petugas duduk di sana. Dari tempat duduk petugas itu keadaan penghuni bisa terlihat dari jeruji tembok.
Dari mana?
Suka Jadi, Pak.
Mau menjenguk siapa?
Romli, Pak.
Saudaranya?
Karim mengagguk mengiyakan meski pun dalam hati sempat hinggap malu mengaku memunyai saudara yang ditahan di penjara namun segera dibuangnya.
Baru pertama kali ke sini?
Sekali lagi Karim mengangguk.
Bisa lihat KTP-nya?
Karim mengambil dompet dari saku belakang celananya. Mengeluarkan KTP dari dalam dompet, kemudian menyerahkannya kepada petugas yang sedang duduk di hadapannya.
Penjaga membacanya sejenak, lalu menuliskan sesuatu di secarik kertas sambil sesekali melihat KTP Karim. Ketika petugas sibuk dengan aktivitasnya, Karim bangkit dari kursi menuju bui. Petugas tadi hanya memandang Karim sekali. Lalu kembali tenggelam dengan pekerjaannya.
Karim mengalihkan pandangan pada jeruji-jeruji ruangan tersebut. Ia dapat melihat para tahanan dengan jelas. Nampak olehnya masing-masing tahanan sibuk dengan kegiatannya, ada yang menyapu, duduk-duduk, ngobrol, menempelkan tubuh ke jeruji, namun lebih didominasi mereka yang asyik menonton para petugas penjara yang sedang bermain bulu tangkis.
Sesuatu yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang di luar mungkin dianggap menarik oleh orang-orang di sini, Karim membatin. Matanya berjalan ke sana kemari berusaha mencari orang yang akan ia jenguk. Namun setelah semua tempat yang ia pandang habis, Karim tetap tidak mendapatkan apa yang dicari.
Seorang tahanan mendekati Karim. Karim mengetahui kalau yang mendekatinya adalah seorang tahanan. Mudah saja ia menyimpulkan: dari kaos yang dikenakan sama dengan mayoritas tahanan. Kaos yang dikenakan berwarna biru dan memiliki nomor di bagian dada kanan. Walau tahanan, penampilannya lumayan rapih. Dengan kaos dimasukkan ke dalam celana jeans biru yang dilingkari dengan ikat pinggang, ia lebih mirip body guard ketimbang tahanan. Badannya terbentuk seperi atlet. Dia bertanya dari sebelah jeruji siapa yang akan Karim temui.
Romli.
Tahanan itu tampak bingung. Sepertinya dia tidak kenal dengan nama itu.
Udin. Karim langsung menambahkan. Berharap nama tersebut akan membantu laki-laki di hadapannya. Kalau di desa biasa dipanggil Udin.
Romli... Udin..., gumamnya. Kasus apa?
Karim tak menjawab. Malu mengatakan tentang kasus yang menjerat Romli ke tempat ini.
Tidak. Tidak. Aku tidak akan memberitahukannya. Jangankan mengucapkannya, mendengarnya saja aku sudah malu, batin Karim.
Petugas sudah selesai menulis. Ia memanggil tahanan yang berbincang-bincang dengan Karim tadi.
Ke sini, Dul. Napi bernama Dulman mendekati petugas setelah melewati pintu gerbang tengah. Dulman diberi kertas yang tadi dipegang petugas.
Tahanan pindahan ya?
Iya, Pak.
Coba kamu cari di sel lima. Perintah petugas pada Dulman.
Sebelum ke penjara ini, sudah dua penjara yang didatangi Karim. Petugas penjara pertama mengatakan Romli sudah dipindahkan. Dan dari penjara kedua yang didatanginya ia tahu bahwa Romli berada di sini. Terbersit rasa penyesalan, mengapa tak pernah muncul keberanian dalam dirinya selama ini. Ia merasa orang yang paling tega membiarkan adiknya dalam penjara tanpa pernah ditengok sekali saja. Ia menyesal terlalu mematuhi bapaknya yang sejak semula sudah ia nilai salah.
Karim kembali memperhatikan para napi yang saling sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak beberapa lama kemudian, Dulman sudah membawa seorang laki-laki. Ia adalah Romli. Badannya nampak sedikit kurus. Kepalanya gundul.
Dengan dihalangi jeruji, mereka saling tatap. Tangan Romli menerobos jeruji, menjabat tangan kakaknya.
Apa kabar Karim? tanyanya. Dari dulu Romli tak pernah memanggil kakak. Umur mereka hanya selisih satu tahun.
Baik.
Ada genangan air yang mulai keluar dari sudut mata Romli. Ia terharu dengan kedatangan Karim. Pertemuan yang tak pernah ia duga. Sebenarnya, selama tujuh bulan di penjara dan tak pernah ada satu pun yang menjenguknya, Romli sudah dapat menyimpulkan bahwa keluarganya sudah tidak mengakuinya. Ia benar-benar sendiri. Bagai anak hilang saja. Namun setelah kedatangan Karim, ada harapan untuk kembali ke keluarga yang disadarinya kini sebagai tempat berteduh.
Sebelum ke ruang besuk, bayar uang kebersihan dulu, kata petugas. Ia tidak menyebutkan berapa. Karim bingung harus memberi uang berapa. Namun saat Karim memberikan uang lima ribu, petugas penjara menerima dan tidak protes karena kurang.
Ruang besuk di penjara ini sama seperti ruangan pertama tadi. Hanya saja selain petugas dengan kursi dan mejanya, di ruangan ini juga terdapat kursi panjang berbentuk huruf n. Romli duduk di bangku sebelah kanan. Ada seorang tahanan yang sedang dijenguk ibunya. Mereka duduk di kursi samping kiri berhadapan dengan Romli.
Terima kasih sudah datang menjenguk. Suaranya parau. Tenggorokannya tercekat.
Karim mengeluarkan dua bungkus rokok, makanan ringan, air minum botol besar serta sebuah bungkusan. Romli dengan gerakan cepat langsung menyembunyikan sebungkus rokok ke dalam celana. Ia selipkan sehingga terhimpit karet celana kolornya.
Karim melirihkan suaranya seolah banyak orang sedang menguping pembicaraan mereka. Satu bungkus saja yang dikeluarkan. Kalau ketahuan bisa berabe. Banyak yang malak! Di sini, merokok sehari satu batang saja sudah termasuk warga elit. Kebanyakan dari kami merokok puntungan. Romli tersenyum getir mengenang.
Bagaimana kabar ibu-bapak? Romli membuka percakapan sambil membuka sebungkus rokok.
Mereka semua baik. Bahkan kedatanganku ini atas kesepakatan bersama. Romli tersentak kaget tak percaya mendengar kata-kata tadi. Benarkah demikian? batinnya masih meragu. Bukankah mereka sejak dulu membenci anaknya yang tidak tahu malu ini? Anak yang membalas air susu dengan air tuba!
Bukankah mereka membenciku?
Karim diam. Dengan hati-hati, ia menjelaskan. Itu dulu. Sebenarnya sudah sejak dulu aku ingin datang menjenguk tapi aku takut pada Bapak. Kau tahu, ia sangat terpukul. Baru kemarin aku berani ngomong kepada Bapak kalau semua orang bisa saja melakukan kesalahan. Dan sepertinya Bapak pun meyadari kekhilafannya setelah aku jelaskan. Ya... meskipun untuk itu membutuhkan waktu tujuh bulan. Maafkan kami. Selama itu kami tidak pernah menemuimu.
Ah tidak apa-apa. Aku memang pantas mendapatkannya. Terus terang, lebih baik tak ada yang menemuiku. Aku malu jika melihat kalian. Dan aku yakin kalian juga malu melihatku.
Sudahlah. Kami sadar tak ada orang yang tak pernah berbuat salah. Kami sudah bisa menerimamu.
Air mata Romli kembali menetes. Haru berterbangan di ruang besuk. Lama mereka bertukar cerita. Dulman memasuki ruang besuk. Ia duduk di bangku. Romli mengerti maksud kedatangan teman tahanannya. Ia sodorkan sebungkus rokok yang sudah ia buka. Dulman mengambil satu batang. Setelah menyulutnya dengan api, Dulman mendekati tahanan di depan Romli yang masih asyik ngobrol dengan ibunya.
Minta jeruk ya? katanya langsung menyusupkan tangan ke dalam kantong plastik tanpa mempedulikan apakah yang diminta setuju apa tidak. Ia mengambil lima buah jeruk dari dalam kantong plastik itu. Sekalian Ekstra Joss-nya ya? Tahanan di hadapan Romli hanya diam. Begitu pula dengan ibunya.
Dulman memberikan dua buah jeruk jarahannya kepada petugas ruang besuk. Satu lagi ia kasih kepada temannya di luar.
Karim menggelengkan kepala melihat kelakuan Dulman.
Alhamdulillah di sini aku mulai rajin sholat. Ramadhan kemarin juga aku berpuasa penuh, satu bulan. Aku merasakan kedamaian di sini. Romli mencoba mengalihkan konsentrasi Karim.
Syukurlah kalau begitu. Aku bawakan pakaian untukmu. Tangannya memegang bungkusan yang tergeletak di antara mereka.
Terima kasih.
Karim mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang dalam perjalanan pulang. Ada kekhawatiran di hatinya. Bagaimana jika Romli mengetahui yang sebenarnya—bahwa keluarganya masih belum bisa memaafkannya bahkan mungkin tidak akan pernah memaafkannya.

Serang, 23 Februari 2007
cerpen ini diterbitkan di koran harian Radar Banten edisi Kamis, 19-April-2007

Baca Selengkapnya......

Jumat, 09 April 2010

Memancing



Pancing keren dijual di toko Ratu Pancing yang ada di Simpang Tiga Kota Cilegon, depan masjid Al Hadid. Tampak seorang petugas toko, Jamal, sedang merapihak peralatan pancing.
Menurut Jamal, alat-alat pancing biasanya akan terjual ramai ketika akhir pekan. Harga pancing variatif mulai dari puluhan ribu sampai jutaan.
Gambar diambil Jumat (9/4/2010).

Baca Selengkapnya......

Rabu, 07 April 2010

Keren




Ini foto keren. Gue jepret waktu liputan demo pendukung Ali Mujahidin (Mumu), salah satu calon Walikota Cilegon tahun 2010-2015 di depan kantor Panwaslukada Cilegon, di Cibeber.
Setelah gontok-gontokan dan dijaga ketat oleh aparat, para demonstran ini akhirnya bersalaman meminta maaf kepada para polisi.
Hmmmm.... keren banget.
Begini nih aksi yang bener mah ^_^

Baca Selengkapnya......

Senin, 29 Maret 2010

Lukisan



Ini waktu gue mau ngetik di kantor dan ketemu temen, seorang
fototgrafer, di sanggar lukisan.
Dia meminta gue jadi model buat foronya tentang lukisan
karena tukang lukisannya nggak mau difoto hehehe
Lokasi: Cibeber, Cilegon
Waktu: Minggu 28 Maret 2010




Baca Selengkapnya......

Kamis, 24 Desember 2009

Tantangan Bagi Para Jurnalis


sumber gambar: http://foto6b.detik.com/images/content/2008/11/12/157/jurnalis6.jpg
Kepada siapa media massa mesti berpihak? Apakah independen yang sering didengungkan media massa sebagai tidak berpihak kepada siapa pun berarti tidak berpihak kepada apa pun dan siapa pun?
Sesungguhnya tidak ada media massa yang benar-benar independen dalam artian tidak memihak apa pun atau siapa pun. Media massa mesti berpihak. Pertanyaannya adalah kepada siapa media massa mesti berpihak? Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang memperkenalkan sembilan elemen jurnalisme, media mesti berpihak pada masyarakat (baca: rakyat). Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.
Berhubungan dengan keberpihakan media massa kepada masyarakat inilah media massa melalui para jurnalisnya mesti mengungkap tuntas apa sebenarnya yang terjadi pada kasus Cicak-Buaya. Apa yang melatarbelakangi? Adakah hubungannya dengan Bank Century? Siapa pemain di balik konflik ini? Dan seterusnya.

Tantangan
Mesti kita akui dan beri penghargaan kepada media massa yang selama ini sudah menayangkan banyak informasi tentang perseteruan Cicak-Buaya. Terutama saat menayangkan/ memuat rekaman penyadapan terhadap Anggodo Widjojo yang diduga melakukan kriminalisasi KPK dan berupaya membunuh Bibit Samad Rianto.
Namun, hendaknya media massa tidak puas sampai di situ. Masyarakat masih terlalu kabur dalam kasus ini. Mozaik-mozaik masih banyak yang belum terkumpul. Pihak yang benar dan salah belum terlihat jelas. Masih menduga-duga saja. Karena dugaan-dugaan inilah suara masyarakat yang mengikuti kasus Cicak-Buaya (secara kasar) terbelah menjadi dua: yang mendukung KPK sedangkan sisanya mendukung Polri. Jika tidak segera diungkap, penulis khawatir perbedaan dukungan ini akan semakin memperuncing gap antar masyarakat.
Media massa hendaknya tidak gentar memberitakan atau malah mengungkap habis “rahasia” polemik Cicak-Buaya ini. Semua masyarakat mendukung usaha ke arah sana. Jangan sampai juga pemanggilan dua Redaktur Pelaksana koran harian (Kompas dan Seputar Indonesia) oleh Polri menyurutkan yang lain dalam pemberitaan karena Undang-Undang Dasar 45 menjamin setiap warga negara dalam mendapatkan dan mengolah informasi. Dan sebagai negara yang demokrasi tentunya kebebasan pers mesti dikedepankan. Karena (meminjam kata-kata Andreas Harsono) semakin berkualitas jurnalisme di suatu masyarakat, maka kehidupan mereka pun semakin berkualitas.
Momen kaburnya penglihatan kita akan perseteruan Cicak-Buaya ini justru mesti menjadi tantangan bagi para jurnalis atau wartawan untuk meningkatkan liputan dari straight news (hard news) atau feature menjadi liputan mendalam, indepth reporting, bahkan investigasi.

Liputan investigasi
Liputan investigasi (untuk sementara ini) adalah liputan paling bergengsi dan puncak dalam karir seorang jurnalis. Bukan saja mesti membutuhkan waktu yang relatif lama, tapi juga mesti teliti, sabar, dan ulet. Terus melakukan verifikasi, wawancara dengan banyak orang, menggali data, sampai mendapatkan titik terang.
Seorang jurnalis investigasi mesti memiliki kemampuan di atas rata-rata jurnalis selain keberanian. Ia mesti pandai dalam masalah hukum seperti hakim, mesti lebih bisa menjaga rahasia ketimbang intelelenjen, mesti lebih lihai dari pencuri (dalam menggali dokumen rahasia), mesti lebih bisa mengendus pelanggaran dan kejahatan yang terjadi ketimbang polisi. Modal-modal inilah yang mesti dimiliki jurnalis yang akan terjun ke “rimba kasus” Cicak-Buaya.
Setelah itu jurnalis investigasi akan berurusan dengan pihak-pihak yang merasa terlibat dan terpojokkan dengan adanya kasus Cicak-Buaya, yang biasanya menggunakan pasal karet pencemaran nama baik. Namun, penulis yakin bahwa dampak liputan yang dihasilkan akan jauh lebih memberi manfaat. Dan penulis yakin akan banyak masyarakat—bisa melalui turun ke jalan atau melalui facebook—yang akan mendukung media massa seperti halnya dukungan mereka kepada KPK.

Sejarah emas
Keuntungan yang akan didapat jurnalis investigasi jika bisa membongkar fakta mendalam dalam kisruh Cicak-Buaya adalah ia akan mencatat sejarah jurnalisme Indonesia dengan tinta emas. Sejarah jurnalisme Amerika Serikat bisa menjadi pelajaran bagaimana kebusukan pemerintah bisa dibeberkan oleh dua orang jurnalis handal yang kemudian bisa mewakili rasa keadilan masyarakat Amerika. Dua reporter Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein bekerja keras saat menguak kasus skandal Watergate yang ternyata melibatkan Presiden Amerika Richard Nixon.
Atau seperti seorang jurnalis handal Bondan Winarno yang menguak kasus penipuan oleh Michael de Guzman, Manajer Eksplorasi PT Bre X Corp, seputar emas di Busang, Kalimantan Timur.
Sebelum terkenal sebagai pembawa acara wisata kuliner dengan slogan khas “maknyus”, Bondan telah meletakkan dasar bagaimana menguak penipuan Michael de Guzman dengan deskripsi yang menarik dan data yang sangat kaya. Dalam laporan investigasinya—yang kemudian dibukukan dengan judul; Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi—Bondan mengungkapkan penipuan yang dilakukan Michael de Guzman yang dianggap banyak orang bunuh diri karena lompat dari helikopter. Padahal itu hanya usaha untuk mengelabui.
Bondan telah mengungkap kasus penipuan besar, walaupun setelah laporan itu terbit, Bondan dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Majalah Tempo termasuk media massa yang beberapa kali mengungkapkan kasus-kasus lewat laporan investigasi seperti laporan tentang PLN, bisnis gelap aborsi di Jakarta, atau juga tentang liputan investigasi lainnya.
Apa yang ditunggu dan diharapkan masyarakat tentang kisruh Cicak-Buaya hanyalah duduk permasalahan yang terjadi di negeri ini dan mengetahui apa sesunggunya yang terjadi. Jika ada yang bersalah maka siapa yang bersalah, siapa yang mesti dihukum, apakah ada hubungan yang positif antara perseteruan Cicak-Buaya ini dengan Bank Century, dan seterusnya.
Kalau ada jurnalis atau media massa yang berhasil mengungkap kasus Cicak-Buaya, maka tentu masyarakat akan sangat senang karena rasa keadilan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan demikian juga pers telah melakukan tugasnya sebagai pemantau kekuasaan.
Di tengah serba ketidakpastian dan mengendurnya kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum dan pemerintah, hanya pers yang bisa dijadikan sandaran oleh masyarakat.
Kita berharap ada jurnalis yang bisa mengungkapkan misteri di balik kasus yang mendapat sorotan dari berbagai pihak ini. Dengan begitu, Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara yang banyak masalah dan bencana tapi juga bisa harum karena dapat mengungkapkan kejahatan yang ditutup-tutupi. Ini bisa menjadi pelajaran bagi pers di dunia khususnya Asia. Dan harapan Indonesai menjadi lebih baik semoga akan cepat terwujud. Semoga.

Baca Selengkapnya......

Pelajaran Bagi MUI


sumber gambar:http://afandri81.files.wordpress.com/2009/02/label-mui.jpg
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Malang menelurkan fatwa. Yang dipermasalahkan adalah kreasi Sutradara asal Jerman, Roland Emmerich, yang memproduksi film “2012”. Sebuah film yang menggambarkan tentang kiamat yang akan terjadi pada 2012. Dalam fatwa itu, MUI melarang umat Islam menonton film 2012 karena dianggap telah mendahului ketentuan Allah dalam menetapkan kiamat.

Apakah fatwa yang dikeluarkan MUI memberi efek pada masyarakat? Jawabannya, ya! Tapi senangkah MUI dengan efek yang ditimbulkan? Mungkin tidak. Kenapa? Karena efek yang ditimbulkan dari fatwa itu tidak seperti yang diharapkan. Efeknya malah berbalik 180 derajat dari yang dimaksud MUI. Ibarat pepatah, jauh panggang dari api.

MUI mengharapkan dengan pelarangan itu masyarakat tidak akan menonton film yang terinspirasi dari kalender suku Maya itu, eh, masyarakat malah “membangkang”. Mereka “tertantang” oleh fatwa yang dikeluarkan MUI dan berbondong-bondong antri memasuki bioskop, tempat yang sebelumnya juga dilarang oleh beberapa pemuka agama karena dianggap sebagai tempat maksiat. Karena itulah film 2012 menjadi film terlaris di seluruh dunia termasuk di Indonesia saat ini.

Dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan beberapa masukan bagi MUI yang bisa menjadi pelajaran bersama.


Belajar dari sejarah

Salahkah MUI mengeluarkan fatwa? Mungkin tidak. Hanya saja, sepertinya MUI belum mau belajar dari pengalaman sendiri. Padahal belajar dari pengalaman inilah yang salah satunya ditekankan oleh agama Islam.

Ini bisa disimpulkan dari banyaknya cerita-cerita kaum-kaum masa lalu dalam al-Quran. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebagian besar isi al-Quran adalah kisah bukan hukum. Oleh karena itu, kisah-kisah nabi dan orang-orang sholeh mesti menjadi teladan sedangkan kisah umat-umat terdahulu yang durhaka dan membangkang mesti (juga) dijadikan pelajaran bagaimana tidak mencontohnya agar ke depan kita bisa lebih baik.

Dan berbicara pelajaran untuk MUI, mestinya MUI belajar dari fatwa-fatwanya yang lalu. Mulai dari fatwa mengenai merokok, debus atau yang lainnya.

MUI juga hendaknya belajar dari kasus penyanyi dangdut Inul Daratista yang mendapat cekalan dan larangan yang justru kemudian terbukti semakin meroketkan nama penyanyi asal Pasuruan yang berkarir dari panggung ke panggung itu bukan malah membangkrutkannya.


Siapa yang salah

Entah siapa yang salah. Atau mungkin sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. MUI sebagai “prisai” umat sebetulnya sudah berbuat maksimal dan sudah melakukan hal yang benar. Dalam bahasa agama, MUI telah berijtihad. Keinginan MUI tidak neko-neko: hanya ingin menjaga umat agar tidak melewati batas yang ditolelir agama.

Namun sepertinya sudah menjadi naluri manusia bahwa semakin dilarang semakin menantang dan semakin besar rasa ingin tahu terhadap yang dilarang itu. Semakin penasaran.

Manusia sebagai makhluk yang bebas memang paling tidak tahan pada pelarangan. Baik pelarangan secara fisik maupun psikis. Seperti sebuah bola yang semakin ditekan ke dalam air maka ia akan lebih tinggi meloncat. Dugaan ini dikuatkan oleh beberapa kasus yang sempat menjadi sorotan lantaran mendapatkan pelarangan, salah satunya kasus Inul tadi.

Kalau saja tidak ada pelarangan dari Sang Raja Dangdut, Inul mungkin tidak akan sekondang seperti ini. Dan mungkin tidak akan banyak orang yang menonton goyangan ngebornya yang dianggap erotis dan merusak akhlak itu. Kalau saja tidak ada larangan MUI terhadap film 2012 mungkin tidak akan banyak yang menontonnya.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kesadaran umat tentang pentingnya mendengarkan ulama semakin menipis? Atau umat malah sudah tidak percaya dengan ulama? Atau umat sudah semakin jauh dari ajaran agama? Atau karena status fatwa MUI hanya sebagai anjuran kemudian banyak yang menyepelekan? Rasanya perlu penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Mungkin, ada baiknya MUI mesti mencari jalan lain agar bagaimana fatwa yang dikeluarkan tidak hanya dipatuhi sang pembuat fatwa tetapi juga bisa menggugah kesadaran umat agar mengikutinya. Seperti fatwa-fatwa yang dihasilkan imam-imam terdahulu yang sampai sekarang masih tetap dipegang teguh terutama bagi mereka yang pernah mendapat pendidikan pesantren.

Kembali ke laptop! Eh maksudnya kembali ke masalah fatwa film 2012.

MUI benar jika mengatakan bahwa film 2012 adalah “sesat” karena mendahului ketentuan Tuhan. Tidak ada umat yang ragu kiamat adalah rahasia Tuhan semata. Hanya Dia yang tahu soal yang gaib itu. Jadi, agak mubadzir jika fatwa untuk mempercayai kebenaran film 2012 itu dikeluarkan.

Saya rasa umat sudah pada pintar. Jadi, fatwa juga mestinya menyesuaikan dengan hal itu.

Wallahua’lam bi al-showab!

Baca Selengkapnya......

GURU (raGu untuk ditiRu)?

Ada adagium yang cukup populer dalam dunia pendidikan. Bunyinya: attoriqotu ahammu minal maadah, (penguasaa) metodologi lebih penting ketimbang (penguasaan) materi. Artinya, cara menyampaikan (baca: mengajar) materi itu lebih penting dari materi itu sendiri. Tapi benarkah selalu begitu?
Cara guru menyampaikan materi dalam suatu bidang pelajaran memang menentukan apakah materi akan sampai dengan baik kepada peserta didik atau tidak karena masing-masing peserta didik memiliki kelebihan dan kelemahan dalam menangkap informasi (pelajaran). Maka, ahli pendidikan mengklasifikasikan cara belajar individu dengan visual, auditorial, dan kinestetik. Dan masing-masing cara belajar ini memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menangkap materi dengan penyampaian yang berbeda.
Namun, meski digaris bawahi, bahwa kemampuan menyampaikan materi ini sebelumnya telah didahuli oleh penguasaan materi. Karena kalau tidak akan kacau.

Perdebatan monolog
Jum’at (23/10) lalu, seorang teman yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) bercerita tentang guru bahasa Indonesianya yang kurang “memuaskan” saat mengajar.
Menurut pengakuannya, hampir setiap mengajar pelajaran bahasa Indonesia teman ini selalu mengulum senyum karena penjelasan yang diberikan sang guru tidak sesuai dengan yang ia tahu. Tidak pas. Lain.
Bijaknya—karena alasan rasional bahwa guru yang mengajarnya adalah seorang perempuan dan khawatir malu—teman ini diam saja tak mau mendebat dan memprotes penjelasan gurunya yang rada beda dengan pengetahuan secara umum. Kasihan kalau didebat, begitu katanya.
“Kalau gurunya laki-laki saya akan berdebat habis,” tambahnya kemudian.
Saya penasaran. Lalu bertanya apa yang keliru dari yang diajarkan gurunya itu.
Teman SMA ini bercerita suatu saat ketika sang guru menjelaskan materi teater.
“Dalam teater mesti ada dialog. Mesti ada yang ngobrol. Jadi, jumlah minimal pemain teater adalah dua orang karena kalau lebih sedikit dari itu dialog tidak bisa terjadi,” kata teman ini menirukan ucapan guru bahasa Indonesia.
“Kalau monolog bagaimana?” tanya saya.
“Iya padahal di buku ada itu, Kang,” katanya kepada saya, “pointer yang menjelaskan bahwa monolog sebagai bagian dari teater,” lanjutnya. Kemudian ia tertawa.
Saya tersenyum juga mendengar penjelasan “baru” itu.
“Trus monolog apa dong menurut guru kamu?” tanya saya penasaran.
“Monolog adalah ngomong sendiri...”
Dalam hati saya memotong dan membenarkan pernyataan gurunya itu tentang monolog. Tapi kemudian saya tercengang saat teman SMA ini melanjutkan, “Tapi monolog hanya dipakai saat latihan teater. Bukan saat main teater,” begitu katanya menjelaskan uraian gurunya. Lalu ia tertawa terbahak. Terdengar melecehkan sebetulnya.
Pengetahuan teman ini tentang sastra—meski masih muda—tidak bisa dibilang main-main. Juga dalam seni pertunjukan, teater. Ia sering bergumul dengan pertunjukan-pertunjukan teater bahkan pernah beberapa kali menonton pertunjukan teater (salah satunya monolog).
Maka, wajarlah jika teman SMA ini hanya cengar-cengir mendengar penjelasan gurunya yang kurang “sreg” tentang teater.

Pendidikan guru
Keesokan harinya, di koran Kompas, ada sebuah berita mengagetkan saya: banyak guru tak pantas jadi guru. Dalam berita hard news itu, terungkap bahwa banyak guru yang sebenarnya belum layak menjadi guru profesional karena pendidikan mereka masih rendah. Ada yang masih diploma, bahkan masih lulusan SMA. Padahal pemerintah sudah menetapkan bahwa guru mesti berpendidikan minimum D-IV atau strata satu (S1).
Saya kemudian teringat pada sosok guru Bahasa Indonsia teman saya itu. Saya teringat penjelasaanya tentag teater. Tentang monolog.
Saya tak tahu apakah guru bahasa Indonesia teman itu lulusan SMA atau perguruan tinggi karena saat saya bertanya, ia juga tidak tahu gurunya lulusan mana. Yang pasti, guru bahasa Indonesia itu belum menguasai materi. Bisa dibayangkan bagaimana murid-murid yang ia ajar menjawab soal-soal bahasa Indonesia yang berkaitan dengan monolog di Ujian Nasional nanti.
Di saat profesi guru diberi tempat yang terhormat dan diberikan “iming-iming” sejahtera oleh pemerintah (karena banyak juga guru yang belum benar-benar merasakan) apalagi yang sudah sertifikasi, mestinya guru terus memperbaiki kualitas. Banyak membaca karena saat ini pengetahuan mudah didapat. Apalagi di era Google ini.
Saat (hapir) semua informasi bisa didapatkan dengan meng-klik Google—pengetahuan bisa dengan cepat didapat—jangan sampai guru malah kurang up date ketimbang murid dalam hal pengetahuan kontemporer. Memang ini tugas berat. Tapi guru tentu tak boleh kalah dengan murid. Apalagi mengajarkan hal keliru.
Jangan sampai guru yang sejak dulu biasa diakronimkan (sosok yang mesti) digugu dan ditiru menjadi (figur yang) meragukan untuk ditiru.

Baca Selengkapnya......

Senin, 02 November 2009

Mungkinkah Koran Mengontrol Koran?


sumber gambar:http://bebibala2.files.wordpress.com/2009/08/koran1.jpg
Seperti halnya pemerintah yang memerlukan pihak oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan, pengontrol kebijakan yang melenceng dari tujuan yang semestinya, demikian juga rasanya dengan media massa.
Media massa memerlukan “oposisi” sebagai penggairah. Sebagai kompas penunjuk arah kalau-kalau sesekali ada media massa yang “tersesat”, “meleceng”, atau yang memang iseng dan sengaja “melanggar”.
Mengapa “oposisi” ini perlu? Media massa (dalam hal ini koran) bisa salah. Untuk itu mesti ada yang mengontrol. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang bisa dan mau menjadi pihak “oposisi” dan mengontrol koran?
Televisi mungkin sudah memiliki badan yang bekerja mengontrol tayangan yang ada yaitu Komisi Penyiaran Indonesia. Di luar itu, televisi mendapatkan “masukan lebih” dari koran harian yang sering mengkritik acara-acara yang bagus dan buruk dalam sebuah pemberitaan koran (biasanya Kompas). Atau juga mengungkap sisi lain dari acara-acara di televisi.
Tapi koran sendiri tidak ada yang mengawasi dan mengkritik (kecuali saat ada majalah Pantau). Koran seakan lain. Mereka bebas melenggang seakan tak ada yang mengawasi. Bukan hanya mengawasi isi tapi juga mengawasi kecenderungan sebuah berita terhadap sesuatu. Seakan koran tak memiliki rem yang dikendalikan oleh orang yang ada di luar mereka. Lalu siapa yang bisa mengontrol koran itu sendiri? Pembaca?
Memang pembaca bisa bahkan sangat memungkinkan mengontrol koran dengan memberikan kritik dan saran. Apalagi jika kritik yang dilakukan disertai dengan pemboikotan, tidak membeli koran yang bersangkutan, misalnya. Dan karena sadar oleh rentannya kekeliruan yang bisa terjadi pada pengelola koran atau segala macam penerbitan itulah, maka ada istilah hak jawab dan hak ralat dalam kode etik jurnalistik. Namun nyatanya tidak banyak yang bisa menulis.
Mungkin, alasannya karena pembaca tidak memiliki waktu yang luang untuk menuliskan kritikan itu. Atau mungkin juga malas. Atau mungkin (dan ini bisa saja terjadi) karena pembaca “tidak bisa” menuliskan kritikannya. Menulis dalam arti tidak pandai merangkai kata untuk itu. Kata seorang teman menulis seperti memasak. Semua orang bisa memasak tapi kelezatan masakannya tentu akan berbeda. Seorang super chef akan menghasilkan masakan yang lezat dan mengundang selera karena telah terlatih. Sedangkan anak manja hanya akan menghasilkan masakan yang akan memalukan dirinya sendiri jika dihidangkan pada orang lain.
Maka, untuk menjembatani ketiadaan “oposisi” itu, rasanya perlu segera didengungkan bersama akan baiknya melakukan kontrol terhadap koran. Dan salah satu yang pantas sebagai monitor koran adalah koran juga. Mungkinkah koran mengontrol koran? Tentu saja. Di Amerika Serikat tradisi koran mengkritik koran sudah lumrah terjadi.
Mengapa mesti koran yang mengontrol koran? Alasan sederhana yang bisa dikemukakan adalah bahwa pengelola koranlah yang tahu banyak tentang “jeroan” koran termasuk apa yang baik dan tidak, apa yang pantas dan tidak, dan seterusnya dalam hal penerbitan.
Di sisi lain, ajang saling mengontrol ini akan membuat kompetisi yang sehat antar pengelola koran sehingga akan tercipta saling “memberi obat”. Meski pahit obat akan mengikis “penyakit” yang ada di koran bahkan menghilangkannya.
Masalahnya kemudian, relakah (baca: maukah) pengelola koran-koran itu saling melemparkan kritik satu sama lain? Jangan-jangan ajang saling kritik malah menjadi hal yang dikhawatirkan karena dimaknai dengan saling “serang”. Padahal kritik dalam konteks ini bermaksud untuk meningkatkan kualitas.
Menurut Andreas Harsono, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang pernah mendapat program beasiswa untuk wartawan dari Nieman Foundation di Universitas Harvard, Amerika Serikat, tradisi saling kritik ini sudah lama dilakukan oleh koran di negara yang sudah memiliki tradisi yang tua dalam hal jurnalistik, Amerika. Ini sudah cukup lumrah. Dan Andreas percaya bahwa saling kritik ini untuk menguatkan kepercayaan pembaca kepada koran. Mengapa demikian?
Pertama, dengan saling mengkritik, para pengelola koran akan saling berlomba dalam memperbaiki isi atau penyajian berita untuk pembaca. Dengan sadar akan itu, wartawan, redaktur, dan pemimpin redaksi (pimred) akan lebih menggenjot kualitas. Tidak asal ada berita lalu diterbitkan. Tak hanya mempertanyakan berapa keuntungan bulan ini tanpa bertanya kualitas pemberitaan.
Kedua, tradisi mengkritik ini akan membuka cakrawala pembaca yang belum tahu mana yang dikategorikan oleh pengelola media massa sebagai yang bagus, etis, atau yang buruk dan tidak layak. Dengan begitu pembaca akan tercerahkan.
Jika banyak manfaatnya, rasanya koran mesti memikirkan peluang ini. Inilah tantangan yang mesti dijawab oleh pengelola koran.

Baca Selengkapnya......